Rabu, 29 April 2009
Selasa, 21 April 2009
TELAH TERBIT JEUNE MAGAZINE EDISI PERAK: SILENCE ISSUE | for everyone |
Dalam edisi ini, kami merayakan keheningan, seperti John Cage merayakan keheningan dalam pertunjukkan musiknya yang fenomenal itu.
Keheningan merangkul rahasia seseorang ketika ia tertarik dengan lawan jenisnya dari sebuah kejauhan. Namun keheningan juga berusaha dipecahkan ketika kata demi kata telah habis dan menyisakan jeda yang tidak nyaman diantara dua orang yang bertatap muka.
Sementara itu, sebagian orang bekerja dengan diam, tanpa dikenali, tanpa menuntut sebuah pengakuan. Sedangkan tempat pun bertutur dengan santun, menceritakan kembali sebuah kisah yang pernah terjadi, dimana ia menjadi saksi bisu dari semua tawa dan air mata.
Melalui keheningan, band Goodspeed You! Black Emperor merenungkan ulang sebuah posisi subjektif di tengah pergolakan objektif kerumunan massa. Dan seorang mime seperti Marcel Marceau atau juga Dede Dablo menciptakan ruang, waktu dan benda melalui gerak-gerak sunyi yang berisyarat.
Kami pun terus menelusuri keheningan. Seperti yang kami temukan pada foto-foto terbuang yang kini dapat kembali berbicara setelah sebelumnya hanya diam dan membeku di sebuah sudut yang usang dan tak tersentuh. Yang juga semakin menguatkan sebuah ungkapan lama, picture tells a thousand words.
Tak lupa juga, para pembuat film memilih untuk tidak diam dengan kembali membuka catatan kelam mengenai peristiwa tragedi Mei tahun 1998 melalui sebuah pemahaman: diam adalah sebuah pernyataan ketika kita sudah selesai bertanya: Kenapa?
Pentas Pantomim ”Wanted”
Mati Ketawa Cara Dablo’s Street Mime
Rabu, 6 Maret 2002Copyright © Sinar Harapan 2002(matdon) Pantomim merupakan salah satu jenis, bentuk atau bagian dari teater, yang namanya populer, namun keberadaannya akhir-akhir ini tidak begitu sering muncul dalam bentuk pementasan. Apalagi setelah generasi Sena Utoyo (almarhum) dan Didi Petet serta generasi Septian Dwi Cahyo tidak lagi produktif berkarya.
Almarhum Sena Utoyo sebenarnya masih mempunyai ”sisa” murid, aktor pantomim yang tidak pernah berhenti berkarya, yang keandalan gerakannya, kreativitasnya serta eksistensinya mulai merayap ke tingkat nasional.
Dialah Dede Dablo, pria muda yang acapkali tampil memukau di pentas-pentas pantomim di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Denpasar, Makassar dan lain-lain. Seperti pada pentas pantomim Kamis pekan lalu (28/02), di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung, dengan titel Wanted, Dede bersama kawan-kawan yang tergabung dalam Dablo’s Street Mime, tampil menghebohkan.
Betapa tidak, di akhir cerita Dede dengan berani telanjang bulat di hadapan penonton, meskipun (maaf) ”burungnya” dibalut dengan plester. Wanted berkisah tentang sebuah klab baru yang selalu dipenuhi pengunjung, karena di klab ini digelar berbagai hiburan atraktif seperti tarian erotik, Break Dance, sampai ke musik kontemporer. Para penonton pertunjukan yang dijadikan seolah-olah sebagai pengunjung klab disuguhi berbagai makanan dan minuman.
Beberapa penonton bahkan digusur para pemain untuk sama-sama berjoget menikmati musik. Ketika suasana kegembiraan tengah berlangsung, tiba-tiba beberapa agen khusus berpakaian ala teroris muncul dan mengacaukan suasana, para agen khusus ini datang ke sana dalam rangka mencari sesorang penjahat kelas kakap. Namun, penjahat yang dicari tak ditemukan, akhirnya klab malam itu bubar dan suasana menjadi sepi.
Pertunjukan berlangsung satu jam, selama itu pula penonton tak henti-hentinya menebar tawa melihat adegan demi adegan, gerakan para aktor pantomim yang disutradarai Dede ini. Gerakan-gerakan lucu dan sesekali ditimplali gerutuan yang meluncur dari mulut para pemain, otomatis menambah tawa penonton.
Kegembiraan penonton yang tengah melahap ketawa masing-masing, tiba-tiba harus bercampur jerit histeris penonton wanita, karena dalam suasana hening setelah klab itu ditinggalkan para agen khusus dan pengunjung, muncul Dede dalam sebuah tong besar berisi kopi.
Dengan gerekan terlatih, Dede yang berperan sebagai penjahat yang tak berhasil ditemukan para agen khusus itu, memakai celana dan baju, tapi dalam beberapa jenak, ia kembali menanggalkan baju, dan… telanjang bulat.
Main di trotoar
Dede Dablo, pria lulusan STSI Bandung ini mengawali kariernya di dunia pantomim ketika ia dengan susah payah mencari aktor Sena Utoyo di Jakarta untuk belajar pantomim. Ternyata, tidak gampang menaklukkan hati almarhum. Namun, karena kuatnya keinginan itu, Dede terus mendatangi rumah Sena dan melamar menjadi pembantu rumah tangganya tanpa dibayar, asal bisa belajar pantomim.
Kegigihan itu membuat hati Sena cair juga. Akhirnya, Dede berlatih di sana, setahun kemudian pulang ke Bandung dan mengembangkan ilmunya yang ia dapat dari Sena. Ternyata dukungan kawan-kawan seniman Bandung membuat Dede makin bersemangat untuk berpantomim, padahal sebelumnya, ia merupakan aktor teater dalam kelompok Satu Merah Panggung pimpinan Ratna Sarumpaetr, Payung Hitam pimpinan Rahman Sabur, Laskar Panggung dan lain-lain. Terakhir, tahun 2001 lalu, Dede masih sempat bermain dengan Teater Payung Hitam dalam: Kaspar pada Art Sumkit di Jakarta.
Dalam pengembarannya sebagai aktor pantomim, Dede kerap kali bermain di kota-kota di Indonesia, dalam pentas tunggal maupun acara-acara lainnya, namun jika tidak sedang melakukan pementasan, sebagian warga kota Bandung bisa melihat Dede Dablo berpupur putih, berpantomim di trotoar-trotoar, di pertokoan BIP Jl. Merdeka, di Jl. Dago, di terminal, di pasar dan di mana saja. Sesekali bermain di atas mobil terbuka keliling kota. Menurut Dede, hal ini ia lakukan sebagai ajang latihan dan memperkaya khazanah pengalaman spiritual yang akan menjadi bahan karyanya.
Penampilannya malah makin mantap ketika ia bertemu Epik dan Ipin, personel Krakatau Band, berkat bantuan kedua seniman ini, pada tahun 1999 Dede memberanikan diri membuat nama Dablo’s Street Mime.
”Saya ingin menjadi aktor yang baik di dunia teater dan khususnya pantomim, paling tidak saya akan tetap berpantomim di mana saja, sampai saya tidak mampu,” aku juara kedua Festival Pantomim Sena Utoyo tahun 1999 ini. (matdon)
pementasan Look At Me, Makasar
Aksi Simbolik Melaporkan “Catatan Harian”
SALAH satu ciri seniman adalah menyatakan kediriannya dalam bentuk seni. Baik di atas kanvas, lewat kata,musik, tarian/gerak, dan berbagai aksi simbilik lainnya.
Seni gerak dalam bentuk pantomim yang dipertunjukan Dede Dablo di Gedung Kesenian Socaitet de Harmoni, 10-11 september lalu, tak lain merupakan stimulan dari persentuhan sosiologinya. Suatu liukan tubuh yang tak sekedar merespon kembali pengalaman keseharian, tapi menorah episode realitas kedalam catatan harian yang telah diberi makna. Tuntutan keindahan, emosi, idealisme, dan moral ditempatkan pada titik terdepaan, ketimbang pertimbangan ekonomik, politik atau sosial secara empirik pragmatik.
Jika seorang presiden mempertanggungjawabkan “catatan harian” dalam suatu kewajiban mandataris, maka yang dikedepankan adala sisi politik, kemudian menyusul dimensi pragmatik lainnya. Baik secara sosiologis, ekonomi, maupun moral. Kalau “catatan harian” itu diungkapkan dengan retorika verbalistik berikut “olah tubuh” yang demikian ekspresif, tentu saja sang presiden itu bukanlah seorang seniman yang berpantomim seperti Dede Dablo yang kelahiran
“Catatan harian” seorang presiden dan catatan harian sosok yang di tokohkan Dede Dablo, selain berbeda dalam pretensi pengungkapannya, juga tidak sama dalam eksistensi retoriknya. Kendati demikian, pantomime Dede Dablo yang berjudul, Look At Me ini punya relasi sosial yang bermakna “ajakan” untuk mencermati suatu aktifitas “lain” yang juga bernuansa “petunjukan”.
Pertunjukan Look At Me-nya Dede Dablo yang jebolan STSI Bandung ini tentu saja bukanlah sang presiden yang mengajak rakyat untuk menyimak catatan perjalanan, milik kepala negara, melainkan relasi kondisional itulah yang menghubungkannya. Karena betapapun otonomnya suatu karya seni, publiknyalah menyeret karya itu ke “alam lain.”
Sepotong keidupan yang disajikan Dede Dablo dalam pertunjukan berdurasi 45 menit itu, dicuplik dari masa bayi, kanak kanak, remaja, dewasa, hingga masa jompo. Rekaman kreatif itu memang bukanlah kehidupan beneran berikut sejumlah pretense empiriknya, melainkan bentuk stimulasi konsep realitas yang tersaji kembali dalam wadah gerak yang indah.
Publik menyebutnya hiburan, atau seni dalam wancana yang agak berat. Sebagai seni, pertunjukan yang ditonton tidak lebih seratus orang itu, menghadirkan serentetan pernyataan simbolik dalam bahasa tubuh. Komunikasi memiliki hubungan antara pernyataan seni dengan kehidupan social yang bisa bertipe relasional, berupa; reflektif, cerminan, maupun pantulan belaka.
Kehidupan sehari hari yang ditampilkan, kadang agak serius, jenaka, dan bahkan mubazir (tidak logis). Namun demikian, persetujuan itu dapat melintasi aspek aspek sosial yang terjadi dibawah kondisi yang tidak sepenuhnya atas pilihan sang actor. Sebab ketika diluar pentas, boleh jadi Seorang Dede Dablo tidak dapat menyatakan keinginannya secara total lewat tindakan sehari hari. Ketika itu, kondisi keseharian memang tidak mengijinkannya.
Tapi, di atas pentas inilah, sang aktor dapat membangun ciptakan suatu gerak yang melampaui ambang kelogisan. Suatu fantasi dalam bentuk idealisme yang mungkin lebih murni.
Tarulah ketika sang aktor menelan kumuran air pasta, sehabis sikat gigi. Sebelumnya, sang aktor mencari cari tempat untuk membuang air kumuran itu, namun ia mengambil solusi, ditelan saja. Padahal, didepannya ada wadah dibawah keran air. Penontonpun bergumam, “ini bukan adegan lucu, tapi memuakan.”
Tapi, sebagai karya seni, bukanlah kelogisan itu yang dituntut. Mungkin ada efek estetik yang hendak dicapai senimannya. Sebagaimana pula pada adegan meng-on-kan mesin mobil dengan menancapkan kunci starter pada lubang telinga dan hidung. Sebelumnya, kendaraan itu tidak bisa bunyi ketika hanya distarter lewat lubang kunci sesungguhnya. Ketidaklogisannya, kendaraan sang tokoh tiba tiba bisa bunyi saat kunci dipindahkan di lubang telinga atau lubang hidung.
Gerak tubuh yang demikian gemulai membuat Dede Dablo bisa menarik keberuntungan dari dimansi yang dianggap sebagian penonton sebagai rancangan gerak yang mubazir. Kendati demikian, penonton lain bisa membaca gerak ini sebagai suatu “pesan moral” dan bermuatan sosiologis. Bahwasannya, tidak semua sisi kehidupan itu berlangsung secara logik. Kadang kadang ada visualisasi karakter diluar diri manusia yang sering dikambinghitamkan sebagai keterbatasan alamiah. Sangat manusiawi.
Bagi penonton yang memahami ilmu tanda, adegan itu memang bisa dipandang sebagai mimesis dari kehidupan keseharian. Secara simiotis, gerak seni itu menjadi penanda ikonik dari kehidupan sesungguhnya. Atau boleh jadi simbolisasi dari ketidak mampuan manusia mendengar dan mencium “bau bau social.” Semua petunjuk untuk menggerakan roda kemasyarakatan, harus lebih dahulu melalui “penggorokan” lubang telinga atau hidung.
Tanpa indeksikalisasi pengertian adegan tersebut, agaknya sulit diterima logika. Maka yang tersisa hanya kejenakaan belaka. Tapi inilah kekuatan dalam realitas seni.
Berbeda dengan realitas sesungguhnya. Ketika seorang presiden misalnya, memperlihatkan “kejenakaan” dalam membeberkan “catatan harian,” logik dan tidak logic dipahami sebagai kelumrahan yang bisa saja terjadi dalam setiap ruang dan waktu. Namun demikian, kejenakaan Dede Dablo diatas pentas, bukanlah Look At Me nya seorang presiden. Karena Dede Dablo berada dalam ruang seni yang menghadirkan dirinya sebagai seorang aktor pemeran seorang tokoh yang tidak lebih sebagai wadah improvisasi suatu dimensi kehidupan. Publiknyalah yang menyeret, kedunia mimetik mana komposisi gerak itu hendak diwadahkan. Akan halnya pula, kedunia sosial moralistik mana pertanggungjawaban “catatan harian” sang presiden akan diwadahkan oleh “apresiatornya”
Betapa tidak, dunia seni, memang bukanlah realitas keseharian yang ditiru sementah mentahnya. Termasuk kepolosan sang tokoh yang diperankan Dede Dablo itu ketika mengungkapkan cacat moral (memperkosa tamu gadisnya) ketika usia remaja. Inilah kejujuran tokoh seni membahasakan catatan hariannya.Tapi, dalam realitas, kejujuran semacam itu sulit dijumpai. Apalagi kalau tokoh relitas yang memerankan suatu “perkosaan sosial” adalah seorang raja. Juga presiden.
(basri)
Minggu, 19 April 2009
K A S P A R
KPH makin terasa suatu bentuk keterbukaan tafsir bagi siapa saja
untuk memasuki wilayah itu dengan imajinasi masing-masing publik,
yang dibawa ke dalam suatu atmosfer dan bentuk yang memiliki batas
ambang yang tipis antara kenyataan dan fiksi. Apalagi didukung oleh
permainan aktor KPH:Tony Broer, Yana Gartiwa, Tatang Pahat, Dede
Dablo, Deden Yusuf dan Gun Murjianto dengan totalitas permainnya
menjadikan KPH dengan "Kaspar" 1995-96 itu merupakan salah satu
kontribusi penting di dalam perkembangan kehidupan teater di
Indonesia.
Keterbukaan atau tepatnya sistem terbuka dari suatu
pementasan yang memungkinkan adanya tafsir dari publik
~tulisan ini di posting di milis ngoteater,18 Agustus 2005~