Jumat, 03 Juni 2011

Minggu, 01 Agustus 2010

Rabu, 07 April 2010

Tambora Art Moment


Tambora Art Moment PDF Cetak
Senin, 12 April 2010
ImageLangkah Awal Menggerakkan Masyarakat Gunung Tambora.

KECERIAAN anak-anak dan remaja Dusun Pancasila, Desa Tambora, Kecamatan Pekat Dompu, NTB, memecah keheningan dusun di kaki Gunung Tambora sore itu. Riuh canda dan tawa riang mereka, bersatu dengan suara alam desa nan bersahabat. Saat itu, selama dua hari, Sabtu (27/3) dan Minggu (28/3), dusun ini menjadi tempat penyelenggaraan kegiatan seni dan budaya bertajuk Tambora Art Moment. Para seniman, fotografer, dan wartawan yang berasal dari Mataram dan Dompu, bergerak bersama membangkitkan gairah berkesenian masyarakat dusun ini.
Tambora Art Moment, merupakan kegiatan yang membawa misi kesenian dan kebudayaan ini, bertujuan menggerakkan masyarakat lingkar Gunung Tambora untuk menyadari potensi seni dan budaya yang dimilikinya. Sebagai sebuah dusun yang merupakan pintu masuk utama destinasi wisata minat khusus Gunung Tambora, keberadaan Dusun Pancasila, menjadi penting.
Kesadaran untuk menggerakkan masyarakat dusun inilah yang membuat tim Tambora Art Moment membawa misi ini dengan sukarela. “Ini merupakan langkah awal untuk menggerakkan masyarakat terlebih dahulu mengenal potensinya, yang kemudian diharapkan mereka akan tergerak juga untuk menggali potensi seni budaya yang ada di daerahnya,” ujar Lale Kamarukmin, salah seorang anggota tim Tambora Art Moment. Karena itulah konsep kegiatan ini sedari awal telah disiapkan untuk melibatkan masyarakat dalam pagelaran kesenian.Saat ini, potensi seni dan budaya di Dusun Pancasila nyaris “mati” dan samasekali tak ada tanda-tanda kehidupan. Hal ini diungkapkan Kepala Desa Tambora, Hasanuddin. Sebenarnya ada kesenian khas yang pernah hidup di daerah ini, seperti biola khas Dompu. Namun, sudah lama kesenian ini mati suri. Masyarakat desa ini menjadi sangat haus dengan hiburan seni yang dapat mereka nikmati secara langsung.
Pada hari pertama, para seniman mulai “membidik” satu persatu anak-anak dan remaja dusun ini untuk dilibatkan dalam pagelaran teater, musik kreatif, menggambar bersama hingga pagelaran kolaborasi sastra, pantomim, dan teater. Uniknya, meski mereka anak-anak dusun, mereka percaya diri. Tanpa ragu apalagi malu, mereka terlibat seutuhnya dalam latihan bersama yang dilakukan mulai siang hingga malam hari di lapangan Dusun Pancasila tersebut.

Para seniman, Ary Juliant, Plagiamor Trestian, Alex Lout (musisi), Felix dan Sanggar Madaduli Kempo Dompu (teater), Kiki Sulistyo dan Dede Dablo Permana dari Komunitas Akarpohon Mataram dan lainnya, dengan leluasa menata dan menggali potensi bakat serta minat anak-anak dusun ini.
Dua fotografer profesional di Mataram, Qwadru Putro Wicaksono dan Sri Hardjono, yang ikut tergabung dalam tim Tambora Art Moment, mengabadikan setiap momen kegiatan ini sebagai karya-karya fotografi terbaru mereka. Keasrian alam dan keunikan kegiatan ini diakuinya, bisa menjadi sebuah gagasan dan tema baru bagi karya-karyanya. Mata kameranya tak henti-hentinya menyorot dan membidik setiap keunikan dari kegiatan ini.
Tambora Art Moment kemudian mementaskan pagelaran sehari penuh dari pagi hingga malam hari pada 28 Maret. Dibuka dengan gelar musik yang ditampilkan Alex Lout pada pagi hari, kegiatan ini berlangsung hangat. Alex menyanyi bersama anak-anak dusun ini dengan lagu-lagu pop yang akrab di telinga. Sebagai gelar pembuka, Alex mampu mengumpulkan masyarakat untuk terlibat sebagai penyanyi sekaligus penonton acara ini.
Menjelang siang, musisi Ary Juliant makin menghangatkan suasana dengan konser gerilyanya bertajuk Balada Nusa Gora. Pentas ini sebagai bagian dari rangkaian Tur Gerilya Ary Juliyant yang ke-5. Musisi yang pernah terlibat dalam garapan musisi ternama seperti Sawung Jabo ini, menggelar pentas yang disebutnya ”sederhana” berdurasi sekitar satu jam. Ia menampilkan lagu-lagu karya sendiri yang banyak terinspirasi dari perjalanan konser gerilyanya - juga di berbagai kota di tanah air-. Konsep kesederhanaan Tur Gerilya Ary Juliant kali ini rasanya tepat juga digelar di kaki Gunung Tambora. Dalam Konser Gerilya ”Balada Nusa Gora”, Ary Juliant mengajak audiensnya bernyanyi bersama.Sore harinya tampil Kisi dan anak-anak Dusun Pancasila dalam musik kreatif sembari mengiringi reportoar singkat Felix. Disusul dengan kegiatan menggambar bersama.
Di sela-sela acara, para pelakon teater dan sastra terus berlatih untuk pergelaran malam hari. Dede Dablo Permana, menghipnotis penonton sejak senja datang dalam persiapan dan pagelaran yang memukau.
Tampil dengan kostum yang sengaja dikonsep ”seadanya” Dablo melumuri tubuhnya dengan tepung berwarna putih. Sebagai seorang pemain pantomim, Dablo berhasil menarik perhatian penonton dalam gestur-gestur dan penghayatan yang tajam. Dibantu puluhan gadis, Komunitas Akarpohon yang diperkuat Kiki, memainkan lakon ini dalam siraman lighting (pencahayaan) dari bus yang dipakai selama kegiatan berlangsung. Untuk melahirkan sebuah karya yang dipentas malam itu, Dablo dan Kiki memaksimalkan segala apa yang tersedia di alam Dusun Pancasila, termasuk ranting-ranting dan semak di sekitarnya.

Pagelaran ini menjadi lebih memukau manakala Dablo masuk dalam kubangan lumpur yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ia pun ”berdialog” dengan lumpur yang terus melumuri tubuhnya hingga coklat dan yang tersisa hanyalah bola matanya. Dalam pagelaran lebih kurang setengah jam ini, Dablo dan Kiki ”bicara” tentang kehidupan.

Malam itu ditutup Sanggar Madaduli dengan gelar teater gerak. Tubuh-tubuh lentur para aktornya, membawa penonton memahami lebih jauh, tentang kisah Gunung Tambora. Reportoar ini pun tak pelak membuat penonton terdiam dan bertanya-tanya. Kisah yang gamblang diceritakan dalam reportoar ini, membuat penonton berbisik satu sama lain, bahwa sapa yang tengah mereka saksikan adalah kisah nyata yang kerap mereka dengar dan ketahui dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kini pembalakan liar telah membabat hutan-hutan masa depan anak cucu mereka dalam keserakahan segelintir orang. Bagaimana sebuah peradaban hilang akibat ledakan Gunung Tambora dan lainnya.
Yang luar biasa dari kegiatan ini, tentu saja karena kesukarelaan dari semua peserta yang terlibat di dalamnya. Sayangnya, kegiatan yang langsung menyentuh masyarakat ini tidak mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah daerah setempat maupun instansi-instansi terkait.-- nik

Rabu, 29 April 2009

Selasa, 21 April 2009

Photo AlbumTELAH TERBIT JEUNE MAGAZINE EDISI PERAK: SILENCE ISSUEOct 23, '08 3:57 AM
for everyone
Photobucket

Dalam edisi ini, kami merayakan keheningan, seperti John Cage merayakan keheningan dalam pertunjukkan musiknya yang fenomenal itu.

Keheningan merangkul rahasia seseorang ketika ia tertarik dengan lawan jenisnya dari sebuah kejauhan. Namun keheningan juga berusaha dipecahkan ketika kata demi kata telah habis dan menyisakan jeda yang tidak nyaman diantara dua orang yang bertatap muka.

Sementara itu, sebagian orang bekerja dengan diam, tanpa dikenali, tanpa menuntut sebuah pengakuan. Sedangkan tempat pun bertutur dengan santun, menceritakan kembali sebuah kisah yang pernah terjadi, dimana ia menjadi saksi bisu dari semua tawa dan air mata.

Melalui keheningan, band Goodspeed You! Black Emperor merenungkan ulang sebuah posisi subjektif di tengah pergolakan objektif kerumunan massa. Dan seorang mime seperti Marcel Marceau atau juga Dede Dablo menciptakan ruang, waktu dan benda melalui gerak-gerak sunyi yang berisyarat.

Kami pun terus menelusuri keheningan. Seperti yang kami temukan pada foto-foto terbuang yang kini dapat kembali berbicara setelah sebelumnya hanya diam dan membeku di sebuah sudut yang usang dan tak tersentuh. Yang juga semakin menguatkan sebuah ungkapan lama, picture tells a thousand words.

Tak lupa juga, para pembuat film memilih untuk tidak diam dengan kembali membuka catatan kelam mengenai peristiwa tragedi Mei tahun 1998 melalui sebuah pemahaman: diam adalah sebuah pernyataan ketika kita sudah selesai bertanya: Kenapa?

Pentas Pantomim ”Wanted”

Pentas Pantomim ”Wanted”
Mati Ketawa Cara Dablo’s Street Mime
Rabu, 6 Maret 2002Copyright © Sinar Harapan 2002(matdon) Pantomim merupakan salah satu jenis, bentuk atau bagian dari teater, yang namanya populer, namun keberadaannya akhir-akhir ini tidak begitu sering muncul dalam bentuk pementasan. Apalagi setelah generasi Sena Utoyo (almarhum) dan Didi Petet serta generasi Septian Dwi Cahyo tidak lagi produktif berkarya.
Almarhum Sena Utoyo sebenarnya masih mempunyai ”sisa” murid, aktor pantomim yang tidak pernah berhenti berkarya, yang keandalan gerakannya, kreativitasnya serta eksistensinya mulai merayap ke tingkat nasional.
Dialah Dede Dablo, pria muda yang acapkali tampil memukau di pentas-pentas pantomim di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Denpasar, Makassar dan lain-lain. Seperti pada pentas pantomim Kamis pekan lalu (28/02), di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung, dengan titel Wanted, Dede bersama kawan-kawan yang tergabung dalam Dablo’s Street Mime, tampil menghebohkan.
Betapa tidak, di akhir cerita Dede dengan berani telanjang bulat di hadapan penonton, meskipun (maaf) ”burungnya” dibalut dengan plester. Wanted berkisah tentang sebuah klab baru yang selalu dipenuhi pengunjung, karena di klab ini digelar berbagai hiburan atraktif seperti tarian erotik, Break Dance, sampai ke musik kontemporer. Para penonton pertunjukan yang dijadikan seolah-olah sebagai pengunjung klab disuguhi berbagai makanan dan minuman.
Beberapa penonton bahkan digusur para pemain untuk sama-sama berjoget menikmati musik. Ketika suasana kegembiraan tengah berlangsung, tiba-tiba beberapa agen khusus berpakaian ala teroris muncul dan mengacaukan suasana, para agen khusus ini datang ke sana dalam rangka mencari sesorang penjahat kelas kakap. Namun, penjahat yang dicari tak ditemukan, akhirnya klab malam itu bubar dan suasana menjadi sepi.
Pertunjukan berlangsung satu jam, selama itu pula penonton tak henti-hentinya menebar tawa melihat adegan demi adegan, gerakan para aktor pantomim yang disutradarai Dede ini. Gerakan-gerakan lucu dan sesekali ditimplali gerutuan yang meluncur dari mulut para pemain, otomatis menambah tawa penonton.
Kegembiraan penonton yang tengah melahap ketawa masing-masing, tiba-tiba harus bercampur jerit histeris penonton wanita, karena dalam suasana hening setelah klab itu ditinggalkan para agen khusus dan pengunjung, muncul Dede dalam sebuah tong besar berisi kopi.
Dengan gerekan terlatih, Dede yang berperan sebagai penjahat yang tak berhasil ditemukan para agen khusus itu, memakai celana dan baju, tapi dalam beberapa jenak, ia kembali menanggalkan baju, dan… telanjang bulat.

Main di trotoar
Dede Dablo, pria lulusan STSI Bandung ini mengawali kariernya di dunia pantomim ketika ia dengan susah payah mencari aktor Sena Utoyo di Jakarta untuk belajar pantomim. Ternyata, tidak gampang menaklukkan hati almarhum. Namun, karena kuatnya keinginan itu, Dede terus mendatangi rumah Sena dan melamar menjadi pembantu rumah tangganya tanpa dibayar, asal bisa belajar pantomim.
Kegigihan itu membuat hati Sena cair juga. Akhirnya, Dede berlatih di sana, setahun kemudian pulang ke Bandung dan mengembangkan ilmunya yang ia dapat dari Sena. Ternyata dukungan kawan-kawan seniman Bandung membuat Dede makin bersemangat untuk berpantomim, padahal sebelumnya, ia merupakan aktor teater dalam kelompok Satu Merah Panggung pimpinan Ratna Sarumpaetr, Payung Hitam pimpinan Rahman Sabur, Laskar Panggung dan lain-lain. Terakhir, tahun 2001 lalu, Dede masih sempat bermain dengan Teater Payung Hitam dalam: Kaspar pada Art Sumkit di Jakarta.
Dalam pengembarannya sebagai aktor pantomim, Dede kerap kali bermain di kota-kota di Indonesia, dalam pentas tunggal maupun acara-acara lainnya, namun jika tidak sedang melakukan pementasan, sebagian warga kota Bandung bisa melihat Dede Dablo berpupur putih, berpantomim di trotoar-trotoar, di pertokoan BIP Jl. Merdeka, di Jl. Dago, di terminal, di pasar dan di mana saja. Sesekali bermain di atas mobil terbuka keliling kota. Menurut Dede, hal ini ia lakukan sebagai ajang latihan dan memperkaya khazanah pengalaman spiritual yang akan menjadi bahan karyanya.
Penampilannya malah makin mantap ketika ia bertemu Epik dan Ipin, personel Krakatau Band, berkat bantuan kedua seniman ini, pada tahun 1999 Dede memberanikan diri membuat nama Dablo’s Street Mime.
”Saya ingin menjadi aktor yang baik di dunia teater dan khususnya pantomim, paling tidak saya akan tetap berpantomim di mana saja, sampai saya tidak mampu,” aku juara kedua Festival Pantomim Sena Utoyo tahun 1999 ini. (matdon)

pementasan Look At Me, Makasar

Aksi Simbolik MelaporkanCatatan Harian


SALAH satu ciri seniman adalah menyatakan kediriannya dalam bentuk seni. Baik di atas kanvas, lewat kata,musik, tarian/gerak, dan berbagai aksi simbilik lainnya.

Seni gerak dalam bentuk pantomim yang dipertunjukan Dede Dablo di Gedung Kesenian Socaitet de Harmoni, 10-11 september lalu, tak lain merupakan stimulan dari persentuhan sosiologinya. Suatu liukan tubuh yang tak sekedar merespon kembali pengalaman keseharian, tapi menorah episode realitas kedalam catatan harian yang telah diberi makna. Tuntutan keindahan, emosi, idealisme, dan moral ditempatkan pada titik terdepaan, ketimbang pertimbangan ekonomik, politik atau sosial secara empirik pragmatik.

Jika seorang presiden mempertanggungjawabkancatatan hariandalam suatu kewajiban mandataris, maka yang dikedepankan adala sisi politik, kemudian menyusul dimensi pragmatik lainnya. Baik secara sosiologis, ekonomi, maupun moral. Kalaucatatan harianitu diungkapkan dengan retorika verbalistik berikutolah tubuh” yang demikian ekspresif, tentu saja sang presiden itu bukanlah seorang seniman yang berpantomim seperti Dede Dablo yang kelahiran Bandung tadi.

Catatan harianseorang presiden dan catatan harian sosok yang di tokohkan Dede Dablo, selain berbeda dalam pretensi pengungkapannya, juga tidak sama dalam eksistensi retoriknya. Kendati demikian, pantomime Dede Dablo yang berjudul, Look At Me ini punya relasi sosial yang bermaknaajakanuntuk mencermati suatu aktifitas “lain” yang juga bernuansapetunjukan”.

Pertunjukan Look At Me-nya Dede Dablo yang jebolan STSI Bandung ini tentu saja bukanlah sang presiden yang mengajak rakyat untuk menyimak catatan perjalanan, milik kepala negara, melainkan relasi kondisional itulah yang menghubungkannya. Karena betapapun otonomnya suatu karya seni, publiknyalah menyeret karya itu kealam lain.”

Sepotong keidupan yang disajikan Dede Dablo dalam pertunjukan berdurasi 45 menit itu, dicuplik dari masa bayi, kanak kanak, remaja, dewasa, hingga masa jompo. Rekaman kreatif itu memang bukanlah kehidupan beneran berikut sejumlah pretense empiriknya, melainkan bentuk stimulasi konsep realitas yang tersaji kembali dalam wadah gerak yang indah.

Publik menyebutnya hiburan, atau seni dalam wancana yang agak berat. Sebagai seni, pertunjukan yang ditonton tidak lebih seratus orang itu, menghadirkan serentetan pernyataan simbolik dalam bahasa tubuh. Komunikasi memiliki hubungan antara pernyataan seni dengan kehidupan social yang bisa bertipe relasional, berupa; reflektif, cerminan, maupun pantulan belaka.

Kehidupan sehari hari yang ditampilkan, kadang agak serius, jenaka, dan bahkan mubazir (tidak logis). Namun demikian, persetujuan itu dapat melintasi aspek aspek sosial yang terjadi dibawah kondisi yang tidak sepenuhnya atas pilihan sang actor. Sebab ketika diluar pentas, boleh jadi Seorang Dede Dablo tidak dapat menyatakan keinginannya secara total lewat tindakan sehari hari. Ketika itu, kondisi keseharian memang tidak mengijinkannya.

Tapi, di atas pentas inilah, sang aktor dapat membangun ciptakan suatu gerak yang melampaui ambang kelogisan. Suatu fantasi dalam bentuk idealisme yang mungkin lebih murni.

Tarulah ketika sang aktor menelan kumuran air pasta, sehabis sikat gigi. Sebelumnya, sang aktor mencari cari tempat untuk membuang air kumuran itu, namun ia mengambil solusi, ditelan saja. Padahal, didepannya ada wadah dibawah keran air. Penontonpun bergumam, “ini bukan adegan lucu, tapi memuakan.”

Tapi, sebagai karya seni, bukanlah kelogisan itu yang dituntut. Mungkin ada efek estetik yang hendak dicapai senimannya. Sebagaimana pula pada adegan meng-on-kan mesin mobil dengan menancapkan kunci starter pada lubang telinga dan hidung. Sebelumnya, kendaraan itu tidak bisa bunyi ketika hanya distarter lewat lubang kunci sesungguhnya. Ketidaklogisannya, kendaraan sang tokoh tiba tiba bisa bunyi saat kunci dipindahkan di lubang telinga atau lubang hidung.

Gerak tubuh yang demikian gemulai membuat Dede Dablo bisa menarik keberuntungan dari dimansi yang dianggap sebagian penonton sebagai rancangan gerak yang mubazir. Kendati demikian, penonton lain bisa membaca gerak ini sebagai suatupesan moral” dan bermuatan sosiologis. Bahwasannya, tidak semua sisi kehidupan itu berlangsung secara logik. Kadang kadang ada visualisasi karakter diluar diri manusia yang sering dikambinghitamkan sebagai keterbatasan alamiah. Sangat manusiawi.

Bagi penonton yang memahami ilmu tanda, adegan itu memang bisa dipandang sebagai mimesis dari kehidupan keseharian. Secara simiotis, gerak seni itu menjadi penanda ikonik dari kehidupan sesungguhnya. Atau boleh jadi simbolisasi dari ketidak mampuan manusia mendengar dan menciumbau bau social.” Semua petunjuk untuk menggerakan roda kemasyarakatan, harus lebih dahulu melaluipenggorokanlubang telinga atau hidung.

Tanpa indeksikalisasi pengertian adegan tersebut, agaknya sulit diterima logika. Maka yang tersisa hanya kejenakaan belaka. Tapi inilah kekuatan dalam realitas seni.

Berbeda dengan realitas sesungguhnya. Ketika seorang presiden misalnya, memperlihatkankejenakaandalam membeberkancatatan harian,” logik dan tidak logic dipahami sebagai kelumrahan yang bisa saja terjadi dalam setiap ruang dan waktu. Namun demikian, kejenakaan Dede Dablo diatas pentas, bukanlah Look At Me nya seorang presiden. Karena Dede Dablo berada dalam ruang seni yang menghadirkan dirinya sebagai seorang aktor pemeran seorang tokoh yang tidak lebih sebagai wadah improvisasi suatu dimensi kehidupan. Publiknyalah yang menyeret, kedunia mimetik mana komposisi gerak itu hendak diwadahkan. Akan halnya pula, kedunia sosial moralistik mana pertanggungjawabancatatan harian” sang presiden akan diwadahkan olehapresiatornya

Betapa tidak, dunia seni, memang bukanlah realitas keseharian yang ditiru sementah mentahnya. Termasuk kepolosan sang tokoh yang diperankan Dede Dablo itu ketika mengungkapkan cacat moral (memperkosa tamu gadisnya) ketika usia remaja. Inilah kejujuran tokoh seni membahasakan catatan hariannya.Tapi, dalam realitas, kejujuran semacam itu sulit dijumpai. Apalagi kalau tokoh relitas yang memerankan suatuperkosaan sosialadalah seorang raja. Juga presiden.

(basri)

FAJAR, MINGGU 17 OKTOBER 1999