Tambora Art Moment |
Senin, 12 April 2010 | |
Langkah Awal Menggerakkan Masyarakat Gunung Tambora. KECERIAAN anak-anak dan remaja Dusun Pancasila, Desa Tambora, Kecamatan Pekat Dompu, NTB, memecah keheningan dusun di kaki Gunung Tambora sore itu. Riuh canda dan tawa riang mereka, bersatu dengan suara alam desa nan bersahabat. Saat itu, selama dua hari, Sabtu (27/3) dan Minggu (28/3), dusun ini menjadi tempat penyelenggaraan kegiatan seni dan budaya bertajuk Tambora Art Moment. Para seniman, fotografer, dan wartawan yang berasal dari Mataram dan Dompu, bergerak bersama membangkitkan gairah berkesenian masyarakat dusun ini. Tambora Art Moment, merupakan kegiatan yang membawa misi kesenian dan kebudayaan ini, bertujuan menggerakkan masyarakat lingkar Gunung Tambora untuk menyadari potensi seni dan budaya yang dimilikinya. Sebagai sebuah dusun yang merupakan pintu masuk utama destinasi wisata minat khusus Gunung Tambora, keberadaan Dusun Pancasila, menjadi penting. Kesadaran untuk menggerakkan masyarakat dusun inilah yang membuat tim Tambora Art Moment membawa misi ini dengan sukarela. “Ini merupakan langkah awal untuk menggerakkan masyarakat terlebih dahulu mengenal potensinya, yang kemudian diharapkan mereka akan tergerak juga untuk menggali potensi seni budaya yang ada di daerahnya,” ujar Lale Kamarukmin, salah seorang anggota tim Tambora Art Moment. Karena itulah konsep kegiatan ini sedari awal telah disiapkan untuk melibatkan masyarakat dalam pagelaran kesenian.Saat ini, potensi seni dan budaya di Dusun Pancasila nyaris “mati” dan samasekali tak ada tanda-tanda kehidupan. Hal ini diungkapkan Kepala Desa Tambora, Hasanuddin. Sebenarnya ada kesenian khas yang pernah hidup di daerah ini, seperti biola khas Dompu. Namun, sudah lama kesenian ini mati suri. Masyarakat desa ini menjadi sangat haus dengan hiburan seni yang dapat mereka nikmati secara langsung. Pada hari pertama, para seniman mulai “membidik” satu persatu anak-anak dan remaja dusun ini untuk dilibatkan dalam pagelaran teater, musik kreatif, menggambar bersama hingga pagelaran kolaborasi sastra, pantomim, dan teater. Uniknya, meski mereka anak-anak dusun, mereka percaya diri. Tanpa ragu apalagi malu, mereka terlibat seutuhnya dalam latihan bersama yang dilakukan mulai siang hingga malam hari di lapangan Dusun Pancasila tersebut. Para seniman, Ary Juliant, Plagiamor Trestian, Alex Lout (musisi), Felix dan Sanggar Madaduli Kempo Dompu (teater), Kiki Sulistyo dan Dede Dablo Permana dari Komunitas Akarpohon Mataram dan lainnya, dengan leluasa menata dan menggali potensi bakat serta minat anak-anak dusun ini. Dua fotografer profesional di Mataram, Qwadru Putro Wicaksono dan Sri Hardjono, yang ikut tergabung dalam tim Tambora Art Moment, mengabadikan setiap momen kegiatan ini sebagai karya-karya fotografi terbaru mereka. Keasrian alam dan keunikan kegiatan ini diakuinya, bisa menjadi sebuah gagasan dan tema baru bagi karya-karyanya. Mata kameranya tak henti-hentinya menyorot dan membidik setiap keunikan dari kegiatan ini. Tambora Art Moment kemudian mementaskan pagelaran sehari penuh dari pagi hingga malam hari pada 28 Maret. Dibuka dengan gelar musik yang ditampilkan Alex Lout pada pagi hari, kegiatan ini berlangsung hangat. Alex menyanyi bersama anak-anak dusun ini dengan lagu-lagu pop yang akrab di telinga. Sebagai gelar pembuka, Alex mampu mengumpulkan masyarakat untuk terlibat sebagai penyanyi sekaligus penonton acara ini. Menjelang siang, musisi Ary Juliant makin menghangatkan suasana dengan konser gerilyanya bertajuk Balada Nusa Gora. Pentas ini sebagai bagian dari rangkaian Tur Gerilya Ary Juliyant yang ke-5. Musisi yang pernah terlibat dalam garapan musisi ternama seperti Sawung Jabo ini, menggelar pentas yang disebutnya ”sederhana” berdurasi sekitar satu jam. Ia menampilkan lagu-lagu karya sendiri yang banyak terinspirasi dari perjalanan konser gerilyanya - juga di berbagai kota di tanah air-. Konsep kesederhanaan Tur Gerilya Ary Juliant kali ini rasanya tepat juga digelar di kaki Gunung Tambora. Dalam Konser Gerilya ”Balada Nusa Gora”, Ary Juliant mengajak audiensnya bernyanyi bersama.Sore harinya tampil Kisi dan anak-anak Dusun Pancasila dalam musik kreatif sembari mengiringi reportoar singkat Felix. Disusul dengan kegiatan menggambar bersama. Di sela-sela acara, para pelakon teater dan sastra terus berlatih untuk pergelaran malam hari. Dede Dablo Permana, menghipnotis penonton sejak senja datang dalam persiapan dan pagelaran yang memukau. Tampil dengan kostum yang sengaja dikonsep ”seadanya” Dablo melumuri tubuhnya dengan tepung berwarna putih. Sebagai seorang pemain pantomim, Dablo berhasil menarik perhatian penonton dalam gestur-gestur dan penghayatan yang tajam. Dibantu puluhan gadis, Komunitas Akarpohon yang diperkuat Kiki, memainkan lakon ini dalam siraman lighting (pencahayaan) dari bus yang dipakai selama kegiatan berlangsung. Untuk melahirkan sebuah karya yang dipentas malam itu, Dablo dan Kiki memaksimalkan segala apa yang tersedia di alam Dusun Pancasila, termasuk ranting-ranting dan semak di sekitarnya. Pagelaran ini menjadi lebih memukau manakala Dablo masuk dalam kubangan lumpur yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ia pun ”berdialog” dengan lumpur yang terus melumuri tubuhnya hingga coklat dan yang tersisa hanyalah bola matanya. Dalam pagelaran lebih kurang setengah jam ini, Dablo dan Kiki ”bicara” tentang kehidupan. Malam itu ditutup Sanggar Madaduli dengan gelar teater gerak. Tubuh-tubuh lentur para aktornya, membawa penonton memahami lebih jauh, tentang kisah Gunung Tambora. Reportoar ini pun tak pelak membuat penonton terdiam dan bertanya-tanya. Kisah yang gamblang diceritakan dalam reportoar ini, membuat penonton berbisik satu sama lain, bahwa sapa yang tengah mereka saksikan adalah kisah nyata yang kerap mereka dengar dan ketahui dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kini pembalakan liar telah membabat hutan-hutan masa depan anak cucu mereka dalam keserakahan segelintir orang. Bagaimana sebuah peradaban hilang akibat ledakan Gunung Tambora dan lainnya. Yang luar biasa dari kegiatan ini, tentu saja karena kesukarelaan dari semua peserta yang terlibat di dalamnya. Sayangnya, kegiatan yang langsung menyentuh masyarakat ini tidak mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah daerah setempat maupun instansi-instansi terkait.-- nik |